Para seniman di Maluku yang tergabung dalam Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (Pappri) setempat kini menghimpun data lagu "Rasa Sayange" yang diklaim sebagai "jingle" kampanye pariwisata Malaysia.
Ketua Pappri Maluku, Buce Tumaluweng, di Ambon, mengatakan para pencipta lagu, penyanyi maupun warga masyarakat yang bisa dijadikan saksi kini dihimpun masukkannya guna meyakinkan bahwa "Rasa Sayange" adalah milik Indonesia sebagai lagu rakyat Maluku.
"Jadinya Malaysia tidak berhak memanfaatkannya sebagai `jingle` kampanye pariwisata negara itu karena lagu ini adalah milik Indonesia yang membudaya sebagai lagu rakyat Maluku dinyanyikan dalam rangkaian menyampaikan pantun," katanya.
Buce menunjuk saksi Christina Manuputty, lahir tahun 1920, yang mengakui sejak berumur lima tahun lagu "rasa sayange" sudah menjadi hiburannya ketika dibujuk ibunya untuk tidur.
Pencipta lagu dan penyanyi Beng Leiwakabebessy sempat mengiringi dengan gitar ketika Presiden Soekarno menyanyi lagu tersebut di bandara Internasional Pattimura di Desa Laha, Kecamatan Teluk Ambon, tahun 1950.
Yang terpenting, kata Buce, kata-kata dalam syair lagu tersebut adalah dialek Ambon sehingga sangatlah naif sekiranya Malaysia mengklaim "Rasa Sayange" merupakan lagu rakyat setempat.
"Kami setelah merampungkan data, maka difasilitasi Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu akan mengajukan protes kepada pemerintah Malaysia melalui pimpinan pusat," katanya.
Klaim Malaysia terhadap lagu milik Indonesia, menurut Buce, tercatat untuk kedua kalinya, menyusul pertamanya adalah lagu kebangsaan negara tersebut.
"Beng Leiwakabessy menuturkan lagu kebangsaan Malaysia itu sebenarnya milik Indonesia dengan bukti pernah ia mengiring Bram Arce menyanyikannya. Hanya saja karena Presiden Soeharto melarang mempersoalkannya sehingga tidak diklaim ke pemerintah Malaysia," katanya.
Buce pun menegaskan tidak ada masalah soal pencipta lagu tersebut karena di Maluku lagu rakyat itu biasanya identik dengan tidak ada nama.
Sementara itu, Gubernur Maluku Karel Ralahalu menyatakan bingung terhadap Malaysia yang mengklaim lagu "Rasa Sayange" sebagai milik mereka karena sejak dilahirkan tahun 1946 lalu sudah membudaya di sini.
"Lirik lagu itu dialek Ambon seperti kata lia (lihat-red) dan jau (jauh-red) dengan diperkuat huruf e dibelakang. Sehingga harus diprotes dengan meminta dukungan pemerintah pusat," ujarnya.
No comments:
Post a Comment