Thursday, April 22, 2010

Berdaganglah sampai ke Negeri China

DIPLOMASI EKONOMI
Berdaganglah sampai ke Negeri China

Ketakutan utama pasca-implementasi Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China atau ACFTA adalah semakin membanjirnya barang China ke Indonesia. Hampir seluruh mata dunia sesungguhnya menyaksikan, bahkan tanpa diberlakukan ACFTA, produk China sudah tersebar sampai pelosok pedesaan.

Jangan naif, itulah dua kata yang harus diungkapkan apabila kita memandang peta perdagangan dunia. Berbagai FTA, sebagaimana diungkapkan jajaran Kementerian Perdagangan dalam kurun waktu enam bulan terakhir ini, telah disepakati negara-negara di dunia.

Satu negara dengan negara lain sudah terkoneksi dengan garis-garis penghubung. Misalnya, ASEAN-China. Bisa dibayangkan, apabila Indonesia menolak ACFTA, Indonesia juga akan kehilangan garis penghubung dengan ASEAN.

Bayangkan lagi, kekalahan Indonesia yang ”menyerah” sebelum bertanding, tentu akan menjadi peluang bagi negara lain untuk menyerbu China sebagai pasar potensial. Di depan mata negara-negara di ASEAN, penduduk China 1,3 miliar jiwa merupakan pasar menggiurkan.

Bukan hanya terhadap China, produk Indonesia yang akan masuk ke ASEAN pun akan tidak kompetitif karena bea masuk produk Indonesia ke negara-negara itu akan diberlakukan tarif normal yang jauh lebih tinggi atau most favoured nation. Sebuah pilihan berat, tetapi harus dihadapi.

Sejarah memang tidak bisa diputar ulang. Sejak tahun 1991, ACFTA sudah dirintis. Lima tahun kemudian, China secara resmi menjadi mitra dialog ASEAN. Ada catatan penting bahwa tahun 1997 sejumlah kepala negara telah melakukan joint statement untuk menjalankan ASEAN dan Republik Rakyat Tiongkok (China) sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya untuk menyongsong abad ke-21.

Pascaperundingan, kesepakatan ACFTA pun ditandatangani November 2004. Sejak saat itu, pengenaan tarif bea masuk untuk produk-produk yang disepakati mulai dikurangi. Puncaknya, 1 Januari 2010, bea masuk sejumlah produk menjadi nol persen.

Industri seakan kebakaran jenggot. Sepuluh tahun ACFTA dirintis, China langsung memperkuat kepemimpinan pemerintahannya meski berada di dalam ingar-bingar perpolitikannya. Bukan cuma sosialisasi, mereka juga menyusun dan mengimplementasikan serta mengawal betul roadmap industrinya. Kepemimpinan China kuat sekali. Begitu tahun 2010 disepakati implementasi perdagangan bebas, seluruh ”gerbong” ditarik menuju ke arah sana.

”Sebaliknya, kita malah seperti kebakaran jenggot. Ini terjadi karena pemerintah dan sektor bisnis tidak ada kekuatan untuk bersatu,” kata Chief Executive Officer (CEO) Grup Garudafood Sudhamek AWS.

Di tengah berjalannya 60 tahun hubungan diplomasi Indonesia dan China, neraca perdagangan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini memang menjadi perhatian utama. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama tahun 1999-2007 Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan China, tetapi tahun 2008-2009 (Januari-Oktober) mengalami defisit.

Ekspor Indonesia ke China cenderung meningkat hingga tahun 2008, tetapi krisis yang mengguncang menyebabkan daya tahan ekspor kita melemah. Sementara impor dari China ke Indonesia tak tergoyahkan, bahkan cenderung meningkat.

Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar memandang, peningkatan impor China ini tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan melemahnya industri Indonesia. China semakin kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain.

Berdasarkan laporan BPS, Kementerian Perdagangan menekankan, impor barang modal dan bahan baku penolong dari China meningkat pesat dengan pertumbuhan rata-rata tahunan masing-masing 49,8 persen dan 24,6 persen. Kedua kelompok barang tersebut digunakan oleh industri dalam negeri untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Sementara impor barang konsumsi dari China cenderung turun di bawah 1 miliar dollar AS.

Terhadap ACFTA, Mahendra pun pernah mengingatkan, semua pihak hendaknya tidak bersikap naif. Tidak semua strategi hubungan dagang bisa dipublikasikan pada zaman teknologi yang kini semakin terbuka lebar karena pihak lain dapat juga membuat strategi untuk nilai tawar atas posisinya.

Sudhamek mengakui, strategi bisnis sangat menentukan keberhasilan. ACFTA merupakan perjanjian ASEAN dan China. Kalau minta dibatalkan dengan mengedepankan isu 228 pos tarif, Indonesia harus menyadari sebagai bangsa besar yang berada di dalam pergaulan internasional.

Karena itu, menurut Sudhamek, persoalannya bukan sekadar hubungan dagang Indonesia dan China. Kalau keberatan, pintu masuknya adalah ASEAN.

”Kalaupun perjanjian itu diubah, apakah kita tidak ketinggalan kereta? Padahal, negara-negara ASEAN lainnya sedang berlomba memasuki pasar China,” kata Sudhamek.

Berdaganglah sampai ke negeri China...!

Menurut dia, ada produk andalan domestik yang dijaga betul-betul oleh China untuk tidak disaingi negara lain. Produk tersebut adalah baja, otomotif, kapal, pengolahan perminyakan, tekstil, lampu, non ferrous metal, peralatan manufaktur mekanik, perangkat elektronik, dan teknologi informasi dan logistik. Jadi, sia-sia menyaingi produk China semacam ini.

Fakhrudin, seorang produsen mainan anak-anak di Demak, Jawa Tengah, mengakui tidak semua produk mainan anak-anak yang diproduksi di Indonesia bisa kompetitif. Ekspor memang menjadi harapan para produsen, tetapi mengisi ceruk pasar domestik juga tidak ada salahnya.

”Percayalah, pasar domestik masih bisa diandalkan. Kami masih konsentrasi di pasar di Tanah Air luar biasa besar. Kuncinya, kita bisa belajar dari China yang mampu membaca tren pasar. Selebihnya, kreativitas dan inovasi juga penting,” kata Fakhrudin, yang kini memiliki jumlah tenaga kerja sekitar 250 orang.

Tak heran, mainan anak-anak itu bisa diproduksi mulai dari bentuk perangkat makan, mobil-mobilan, hingga handphone yang semuanya terbuat dari plastik bekas. Untuk menggali ketajaman dalam melihat tren, Fakhrudin bolak-balik melanglang buana ke China untuk sekadar kulakan produk baru sebagai prototipe. Jangan salah, produk mainan anak-anak dari China juga ada yang mahal harganya. (Stefanus Osa Triyatna)

No comments: