Thursday, January 17, 2008

KEDELAI REKAYASA (Kedelai TransGenik)

HEBOH
KEDELAI REKAYASA (Kedelai TransGenik)

Sudah lama kedelai Amerika Serikat diekspor ke berbagai negeri untuk diperas minyaknya yang dijual sebagai minyak makan. Tahu-tahu terbetik berita bahwa rakyat Uni Eropa berkeberatan memakai kedelai itu karena sebagian berupa kedelai transgenik. Sejak itulah kita di Indonesia ikut heboh.
Dikhawatirkan, jangan-jangan kedelai itu membuat konsumen keracunan dan gatal-gatal alergi karena sudah disisipi gen bakteri dalam inti selnya. Alergi timbul karena ada protein baru yang terbentuk dalam biji kedelai transgenik. Protein baru ini masih asing bagi darah konsumen protein kedelai biasa.
Karena itu, pemerintah kita di Indonesia diimbau agar cepat ikut bikin undang-undang yang bisa membendung masuknya benih kedelai transgenik ke dalam negeri. Kalau tidak, dikhawatirkan kedelai yang ditolak negara maju seperti Uni Eropa, akan dimasukkan ke negeri yang kurang maju, kapan-kapan.
Kedelai itu harus diteliti dulu sebelum dibolehkan masuk ke Indonesia. Kalau ada undang-undang pencekalan kedelai transgenik yang belum diteliti keamanan kesehatannya, konsumen di Indonesia merasa aman.
Sampai sekarang belum ada produsen kedelai Amerika yang berminat meneliti keamanan kedelai transgeniknya. Soalnya, Food and Drug Administration (FDA) bersikukuh dengan kebijakan lamanya (sejak tahun 1992) bahwa hasil tanaman pangan transgenik akan diuji keamanan kesehatannya dengan standar pengujian yang sama dengan hasil tanaman pangan lain yang bukan transgenik. Untuk apa mengadakan penelitian lebih dulu? Lagi pula, di Amerika Serikat, kedelai transgenik sudah dimakan masyarakat banyak, tanpa ada yang risau.
Kenapa bikin kedelai begituan?
Asal muasalnya, tanaman kedelai di mana-mana selalu menderita gangguan gulma (tanaman liar). Dulu gulma ini diberantas dengan semprotan herbisida, antara lain Roundup berisi racun glifosat. Sial sekali, banyak tanaman kedelai ikut mati kalau terkena daunnya. Mestinya, yang disemprot memang gulma di luar barisan tanaman kedelai saja, tetapi kalau racun itu disemprotkan dari pesawat terbang, bagaimana mungkin ia bisa memilih-milih mana gulmanya dan mana barisan kedelainya? Di-hantam kromo saja, semuanya!
Karena kecelakaan itulah, perusahaan kimia Monsanto pembuat racun itu kemudian merekayasa tanaman kedelai yang tahan terhadap racun glifosat dalam herbisida Roundup.
Monsanto menjual teknologi rekayasanya kepada beberapa perusahaan pembenih tanaman, dan benih kedelai yang dihasilkan dipasarkan dalam satu paket dengan racun gulma Roundup. Sudah meraih untung dari penjualan teknologi rekayasa gen, masih meraup untung lagi dari penjualan Roundup hasil pabriknya sendiri.
Kelihaian cari untung dobel-dobel ini kemudian ditiru oleh Du Pont yang menjual kedelai transgenik Sulfonilurea Tolerant Soybean (STS) dan Hoechst/AgrEvo yang menjual kedelai transgenik Liberty Link yang tahan terhadap herbisida "Liberty" keluaran Hoechst/AgrEvo sendiri, berisi racun glufosinat.
Dengan membeli benih kedelai bersama herbisida ikutan ini, petani Amerika hanya perlu menyemprot gulma satu kali. Ini lebih praktis daripada cara biasa yang perlu beberapa kali penyemprotan dengan berbagai herbisida yang berbeda-beda.
Belum sampai ada berita bahwa petani Indonesia ada yang tergiur membeli benih kedelai transgenik, sudah keburu ada berita sumbang dari daerah Midwest, Amerika Serikat.
"Pemakaian herbisida Roundup di ladang kedelai ternyata menyuburkan gulma waterhemp yang pada dasarnya tidak keok oleh herbisida itu," tulis Brian Halwell dalam "The Emperor's New Crops", World watch Juli/Agustus 1999: 21 - 29.
Waterhemp - sejenis bayam liar - yang mengganggu kedelai lebih kurang ajar lagi karena gulma lain pesaingnya sudah dibabat habis oleh Roundup.
Direkayasa bagaimana?
Ngomong-ngomong, sudah berkali-kali disebut kedelai transgenik, tapi belum sempat dijelaskan apa tanaman transgenik itu dan bagaimana cara merekayasanya.
"Riwayat penciptaannya dimulai kira-kira 50 tahun yang lalu ketika James Watson dan Francis Crick menemukan struktur DNA," tulis Brian Halwell lagi. "Ini molekul panjang asam nukleat deoxyribo nucleic acid berisi deretan gen (pembawa sifat). Semuanya tertata rapi dalam untaian kromosom dalam setiap inti sel makhluk hidup. Setelah ditemukan bagaimana cara 'memotong' (mengisolasi) gen dari DNA itu dengan enzim, para peneliti genetika molekuler mampu mengisolasi dan menyisipkan potongan gen itu ke inti sel makhluk lain sesuai keinginannya."
Enzim yang dipakai sebagai gunting ialah molekul protein virus yang bisa menggerakkan reaksi kimia, sampai gen dalam DNA bisa putus hubungan dari rangkaiannya. Gen yang putus kemudian dititipkan pada plasmid pemilik DNA yang bersangkutan (misalnya bakteri Agrobacterium strain CP4), untuk dipindahkan ke inti sel makhluk lain (misalnya kedelai Amerika).
Plasmid ialah molekul DNA berbentuk lingkaran yang berlalu lalang di luar untaian kromosom. Inilah yang bisa dititipi gen untuk kemudian dipindahkan ke inti sel makhluk lain. Agar pemindahan bisa berjalan, dipakailah virus mosaik Cauliflower yang bertindak sebagai promoter. Pemindahan gen antarmakhluk hidup ini menghasilkan makhluk baru yang diedarkan sebagai makhluk transgenik.
Sejak tahun 1980 sudah puluhan tanaman transgenik yang diciptakan. Ada tomat berisi gen ikan sebelah, yang tahan menghadapi suhu dingin musim salju. Ada pula kentang berisi gen ayam, yang tahan terhadap serangan bakteri pembusukan.
Setelah diketahui bahwa bakteri tanah Bacillus thuringiensis mampu membunuh serangga, maka gen bakteri pembunuh ini pun disisipkan dalam inti sel biji kapas dan jagung. Tanamannya diedarkan sebagai tanaman Bt yang mampu menumpas serangga sendiri karena gen bakteri yang mondok dalam inti selnya membentuk racun berupa protein kristal. Kristal ini merobek usus serangga pemakan "rumah pondokan"-nya.
Sejak memakai benih kapas Bt tahun 1998, petani kapas di Mississippi, Amerika Serikat, hanya perlu mencarter pesawat terbang satu kali untuk menyemprotkan racun serangga di atas ladang kapasnya. Padahal petani lain yang tidak memakai benih Bt harus menyemprot ladangnya sampai lima kali seperti dulu. Petani merasa beruntung karena ongkos pemberantasan serangga di ladangnya lebih murah, walaupun kemurahan itu agak ditiadakan lagi oleh mahalnya harga benih Bt.
Mengatasi kekebalan
Sebaliknya, ada juga petani yang kurang bernafsu memakai benih Bt, karena meskipun sudah memakainya (sebelumnya), ia tetap harus menyemprotkan racun kimia juga terhadap serangga yang tidak mati oleh racun Bt. Racun ini hanya bikin keok ulat kupu-kupu Lepidoptera dan kumbang Coleoptera.
Kini sedang diciptakan lagi tanaman transgenik yang tidak hanya mengandung satu racun melawan satu dua kelompok serangga saja, tetapi racun ganda yang mampu memberantas berbagai kelompok serangga karena disisipi gen lebih dari satu. Tidak hanya serangga penggerek batang, tetapi serangga pengganggu akar pun digasak juga. Misalnya, jagung KnockOut and NatureGard dari Novartis, jagung Bt-Xtra dari DeKalb, dan jagung YieldGard dari Monsanto.
Sial sekali, racun dalam tanaman Bt itu lama-kelamaan juga tidak mempan karena serangga yang bersangkutan sudah kebal. Dalam 3 - 5 tahun saja, kekebalan sudah muncul, dan pemakaian tanaman transgenik tidak efektif lagi.
Tetapi para perekayasa gen tidak kekurangan akal. Mereka mengatasi masalah kekebalan dengan "rencana pengelolaan kekebalan". Petani pembeli benih Bt wajib sukarela menanam jagung yang bukan Bt sebagai tanaman penyangga. Lucu juga, ini! Beli benih transgenik dengan harga mahal, masih wajib sukarela menanam benih yang bukan transgenik.
Alasannya, dengan disediakan suatu areal berisi tanaman bukan Bt, sebagian besar serangga akan menyerang areal ini. Sebagian kecil saja yang kemudian menyerang tanaman Bt, sehingga mereka tidak akan membentuk kekebalan.
Areal bukan Bt ini harus cukup luas agar akal bulus itu berhasil. Cuma kesulitannya, banyak petani yang tidak bloon tidak mau menyisihkan lahan begitu luas bagi tanaman bukan Bt. Sebab, mereka sudah membeli benih Bt yang dijanjikan pasti menghemat biaya produksi!
Mengapa keberatan?
Negeri yang paling dulu keberatan terhadap tanaman transgenik ialah Uni Eropa. Konsumen mereka menunggu terciptanya tanaman jenis super yang hasilnya banyak, tetapi ongkos produksinya minim (kalau bisa), dengan cara bertanam organik. Di pasar swalayan, mereka sudah terbiasa mencari produk pertanian organik yang bebas bahan kimia dari pupuk dan racun penumpas serangga. Buah dan sayuran hasil pertanian organik sudah lama mereka rasakan lebih sehat dan tidak menghantui dengan kekhawatiran terserang kanker, karena tidak mengandung residu racun serangga.
Belum sampai tanaman superidaman yang bebas racun itu ditemukan, tahu-tahu mereka ditawari hasil pertanian tanaman transgenik yang malah mengidap racun dalam tubuhnya.
Para pedagang dan pengecer pengelola pasar swalayan juga khawatir jangan-jangan tidak ada konsumen yang mau membeli hasil tanaman transgenik yang mereka impor.
Tidak hanya mereka yang menolak kedelai transgenik, tetapi juga perusahaan makanan multinasional seperti Unilever dan Nestle yang mengolah kedelai dalam makanan bubuk kalengan.
Pemerintah beberapa negara Uni Eropa kemudian menindaklanjuti demonstrasi rakyatnya yang antimakan kedelai Amerika, dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, agar kedelai transgenik yang diimpor diberi label yang jelas. Kalau tidak, kedelai Amerika tidak boleh beredar di Eropa.
Kedelai yang sudah telanjur dikapalkan, dikirim kembali ke negara asal. Sedangkan penjualan kedelai dari panenan berikutnya harus ditangguhkan sampai ada kejelasan bahwa tanaman itu benar-benar sudah diteliti dengan baik dan benar oleh badan independen, dan diberi sertifikat bahwa ia tidak mengganggu kesehatan konsumen.
Sebagai gong dari hiruk-pikuk semuanya itu, sekelompok pakar genetika molekuler, toksiko patologi, dan kesehatan lingkungan dari Inggris, Kanada, Prancis, dan Amerika Serikat sendiri menandatangani surat terbuka pada tahun 1999, setelah mereka mengkaji secara ilmiah risiko gangguan kesehatan dari tanaman pangan transgenik. Surat berisi tuntutan kepada pemerintah negara pengimpor untuk menarik hasil tanaman pangan transgenik dari pasar kalau tidak menjalani uji kelayakan kesehatan sebelumnya.
Sering tidak jalan
Sejumlah LSM pelestari lingkungan Eropa mempunyai keberatan yang lain lagi modelnya. Beberapa jenis tanaman seperti jagung, mudah kawin silang dengan tanaman lokal yang bukan transgenik, sampai 2,5 km jauhnya. Kalau sampai ada penduduk Eropa yang menanam tanaman transgenik di ladangnya, usaha itu akan berakhir dengan pencemaran tanaman strain (galur murni) lokal. Padahal galur murni ini diciptakan dengan susah-payah dan biaya mahal sebelumnya. Kok dibiarkan dirusak!
Akibat pencemaran gen ini tanaman lokal yang sudah dimuliakan agar produksinya banyak (meskipun diusahakan di ladang pertanian organik tanpa racun kimia) mungkin jadi tidak mantap lagi keunggulannya.
Kebencian terhadap tanaman transgenik bertambah karena semua benih tanaman itu dipatenkan. Dulu, petani masih boleh menyisihkan sejumlah biji hasil tanaman benih canggih yang mereka beli (kebanyakan benih hibrida) untuk mereka tangkarkan sendiri bagi penanaman musim berikutnya.
Tetapi kini tidak akan bisa begitu lagi dengan tanaman transgenik! Petani pembeli hanya boleh memakai benih untuk satu kali penanaman saja. Untuk penanaman berikutnya ia harus membeli benih lagi dari perusahaan pembenih tanaman transgenik. Ini tertulis dalam kontrak jual beli yang hitam di atas putih. Kalau petani memperlakukan tanaman transgenik seperti tanaman hibrida biasa seperti dulu, perbuatannya dianggap melanggar kontrak, dan jelas dituntut di muka pengadilan.
Alasannya, kepemilikan hak paten yang dilindungi undang-undang itu mutlak perlu untuk merangsang penelitian, penciptaan, dan uji coba hasilnya yang menelan biaya besar. Tanpa itu, bagaimana mungkin menarik investor agar mau menanamkan modalnya ke industri rekayasa genetika.
Di negeri demokrasi yang masyarakatnya sudah patuh pada hukum, alasan itu sah saja dan diterima. Tetapi di negeri lain yang masyarakatnya belum begitu patuh pada hukum, penegakan hukum atas hak paten semacam itu sering tidak berjalan mulus.

No comments: