Tarif Murah Belum Tentu Murahan
Dalam industri telekomunikasi nirkabel, apakah itu seluler atau fixed wireless access, ada dalil sahih yang menyebutkan bahwa pertambahan pelanggan akan membuat pendapatan operator rata-rata per pelanggan (average revenue per user) akan menurun. Alasannya sangat sederhana.
Pelanggan pertama, karena tarif dan harga telepon seluler (ponsel) masih mahal, hanya kalangan yang berpunya, potensial, dan tinggal di perkotaan besar saja yang bisa berlangganan. Ketika kalangan berduit ini sudah tercakup dan operator memperluas jangkauan, mereka harus masuk ke daerah pinggiran atau lapisan masyarakat kelas bawah yang dana komunikasinya menggunakan uang yen, yen ono duwite (kalau ada uangnya).
Ketika layanan seluler masih baru, average revenue per user (ARPU) sangat tinggi, lebih dari Rp 250.000 (blended-campuran pascabayar dan prabayar) per bulan. Kini rata-rata sudah berkisar di angka Rp 35.000 per bulan.
ARPU yang didapat operator baru jauh lebih sedikit, ini akibat dari persaingan dan perang tarif. Mereka tak punya kiat jitu selain menawarkan tarif murah jika ingin berhasil dalam menjaring pelanggan walau negatif pada pendapatan mereka.
Beban lebih berat karena dana investasi (capital expenditure/capex–belanja modal), promosi, pemasaran, dan dana operasi operator baru relatif lebih tinggi dibandingkan dengan operator lama. Padahal, belanja modal relatif lebih murah dengan makin murahnya teknologi, selain keharusan menggunakan menara bersama.
PT Telkomsel perlu waktu lima tahun untuk mempunyai 3.000 menara BTS pertama mereka, sedangkan Hutchison Charoen Pokphand Telecom (HCPT) hanya perlu setahun karena mereka menyewa dari penyedia menara atau operator lain. Harga BTS per pelanggan pada dekade lalu 200 dollar AS, kini bisa 40 dollar AS, bahkan lebih murah.
Data Direktorat Jenderal Postel Departemen Pos dan Telematika, Juli 2008 (yang belum disegarkan hingga 9 Oktober 2008), menunjukkan, Indonesia dengan penduduk 225 juta mempunyai pelanggan telekomunikasi 134,6 juta, di antaranya pelanggan seluler 119 juta, FWA (fixed wireless access-akses nirkabel) 12,7 juta, dan sisanya telepon kabel.
Jumlah pelanggan telepon nirkabel, seluler, dan FWA tidak sebanyak itu sebab seorang bisa mempunyai dua, tiga, bahkan empat nomor empat handset, beda dengan telepon kabel yang satu nomor digunakan lebih dari lima orang. Karena itu, jumlah pelanggan nyata seluler dan FWA diperkirakan hanya 70 jutaan.
Perang tarif yang ketat dan kasar membuat semua operator waspada dan mengintip trik-trik yang dilemparkan lawan. Kalau semula perang tarif diprakarsai dan dilakukan operator baru atau kecil, operator besar pun akhirnya terbawa, diawali oleh PT Excelcomindo Pratama (XL) milik Telekom Malaysia (TM), diikuti ketat PT Indosat. Lalu, biar terlambat, PT Telkomsel, si penguasa pasar pun, terjun.
Pertumbuhan pelanggan Indosat menjadi tinggi. Data Ditjen Postel menunjukkan, pelanggan PT Indosat naik sebanyak 7,8 juta pelanggan dari 24,5 juta pada akhir tahun 2007, pada akhir semester I-2008 sudah menjadi 32,3 juta atau naik 132 persen. Namun, kenaikan yang diraih XL jauh lebih besar, sampai lebih dari 150 persen atau 7,6 juta pelanggan baru, dari 15,3 juta pelanggan pada akhir 2007 menjadi 22,9 juta pada akhir Juni 2008.
Bahan tertawaan
Kenaikan pelanggan PT Telkomsel tetap paling tinggi dengan 13,1 juta, naik dari 47,9 juta pada akhir 2007 menjadi 61 juta pelanggan pada semester I-2008. Pangsa pasar operator pun bergeser. Telkomsel tidak lagi menguasai 54 persen, hanya 51 persen. PT Indosat turun menjadi 27 persen dari semula 30 persen, tetapi XL naik menjadi 19 persen dari 15 persen.
Bagi PT Excelcomindo Pratama, pertumbuhan 150 persen merupakan kejutan yang menimbulkan optimisme bahwa mereka mampu merebut peringkat kedua menggeser PT Indosat. Namun, ini tidak mudah karena ada kelebihan Indosat yang tidak dimiliki oleh XL atau operator lainnya, yaitu segmentasi yang jelas.
Indosat memilah pelanggannya tidak hanya dari kelas kartu, yaitu pascabayar, prabayar, dan kartu murah, tetapi menambahkan layanan berdasarkan profesi dan emosi. Indosat merawat pelanggan yang semula dianggap gurem dan tidak potensial, kalangan remaja, lewat kartu IM3.
IM3 diposisikan sebagai kartunya pelajar dan mahasiswa sehingga ketika seorang lanjut usia menggunakannya, ia menjadi bahan tertawaan. Pada perkembangannya, pelanggan IM3 merupakan pelanggan yang paling setia, yang bahkan menarik para remaja pelanggan operator lain untuk memiliki juga kartu IM3 sebagai kartu kedua atau ketiga.
Untuk memikat calon pelanggan, XL menyederhanakan kartunya, dari semula XL dan ProXL, lalu ada kartu bebas, jempol yang tarifnya berbeda, dan kini semua prabayar disebut bebas, kartu pascabayarnya Xplor. Ketidakkonsistenan XL turut membingungkan calon pelanggan. Apalagi, dulu XL memosisikan layanannya sebagai premium, layaknya mobil Mercy dibandingkan dengan mobil Kijang untuk operator lainnya, dengan tarif yang lebih mahal.
Ketika perang tarif terjadi, yang kemudian ”diperparah” dengan turunnya tarif interkoneksi yang berbasis biaya, semua operator mengalami penurunan pendapatan dan penurunan laba. Penurunan juga terjadi karena pelanggan setiap operator makin bertambah, kebanyakan dari segmen kelas bawah.
Kelas gurem ini menganggarkan dana komunikasinya hanya sekitaran Rp 20.000-Rp 30.000 per bulan. Namun, program-program promosi tarif murah, bicara bebas menelepon pada jam-jam tertentu, misalnya 17 jam sehari oleh XL, membuat kemampuan kelas ini terakomodasi.
Hampir semua operator memelototi terus pendapatannya agar investasi untuk perluasan jaringan dan layanan tidak terganggu. Jarang ada operator yang menggratiskan bicara pada jam-jam tertentu tanpa syarat karena tanpa gratisan saja pendapatan mereka cenderung turun.
Akan tetapi, catatan menunjukkan, justru dengan berbagai program promosi, tarif murah, dan bicara bebas, pendapatan XL naik terus. Dalam laporan keuangan mereka disebutkan, pendapatan XL pada akhir semester pertama tahun 2008 naik 59 persen dari Rp 3,665 triliun pada semester pertama tahun 2007 menjadi Rp 5,836 triliun pada periode yang sama tahun 2008. Sistem billing yang prima juga memberi sumbangan karena pelanggan makin yakin.
Dengan pendapatan sebesar ini, keuntungan PT Excelcomindo Pratama, setelah dipotong pajak, naik sebesar 1.438 persen dari Rp 41 miliar menjadi Rp 631 miliar. Namun, dalil industri telekomunikasi tadi berlaku, ARPU campuran (blended) turun dari Rp 46.000 pada semester pertama tahun 2007 menjadi hanya Rp 41.000 pada semester pertama tahun 2008.
Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah pelanggan yang tinggi pada periode sama, penurunan ARPU XL bisa dikatakan masih baik. Ini juga membuktikan bahwa tarif murah di telekomunikasi tidak akan berati membuat perusahaan bangkrut, seperti dikhawatirkan berbagai pihak, terutama operator.
Ketika ritual mudik sekaligus menjadi ajang uji operator nirkabel apakah mereka bisa melayani pelanggannya dengan baik, XL dan operator besar lainnya menunjukkan kepiawaian mereka. Trafik suara XL naik 2,5 kali dari Lebaran tahun lalu yang 350 juta panggilan menjadi 870 juta, tanpa ada jaringan yang terputus karena kelebihan beban.
Sama dengan Indosat yang naik dengan 2,3 kali sehingga ungkapan tarif murah layanan juga murahan tidaklah berlaku.
Moch S Hendrowijono, Wartawan, Tinggal di Cisarua, Bandung