Makanan Transgenik
13 Desember 2007
Tahukah Anda, jika tempe atau tahu bisa membahayakan kesehatan kita? Tempe dan tahu memang makanan khas Indonesia yang sarat gizi, dan cukup digemari. Namun, bisa jadi, makanan favorit semua kalangan itu terbuat dari kedelai transgenik. Kedelai transgenik adalah kedelai yang dikembangkan melalui proses rekayasa genetik. Proses rekayasa genetik dilakukan dengan menyisipkan sel asing ke dalam tumbuhan tersebut. Menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir, banyak produk pertanian impor yang merupakan hasil rekayasa genetik. Produk tersebut antara lain kedelai, jagung, dan kentang. Menurut YLKI, produk makanan transgenik dapat mengakibatkan kelambanan pertumbuhan dan kegagalan reproduksi bagi manusia. YLKI bahkan sudah melakukan pengujian terhadap produk-produk tersebut.
“Tahun 2002 lalu beberapa tempe dan tahu kita uji. Kemudian (ditemukan) ada beberapa turunan lain. Itu positif transgenik. Tahun 2005 kita konsens ke produk kemasan dan kita temukan ada tiga sampel yang positif dua turunan kentang dan satu turunan jagung pada produk impor jadi. Ada (merek) Prinsley, Mister Potatoes, dan Honig. Dan itu dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat sama kegagalan di reproduksi,” kata Huzna Zahir dalam sebuah konferensi pers.
YLKI juga memaparkan bahwa pengujian terhadap produk makanan transgenik pernah dilakukan di Jerman. Percobaan itu dilakukan dengan memberikan makanan hasil rekayasa genetik terhadap tikus. Anak-anak tikus yang diberi makanan hasil rekayasa genetik memiliki peluang kematian enam hingga delapan kali lebih besar dibandingkan dengan tikus yang tidak diberi makanan produk rekayasa genetik.
“Kalau kita melihat potensi bahaya, penelitian di luar itu ada beberapa contoh yang biasanya dicobakan ke hewan tikus yang dilakukan beberapa kali ke tikus di Rusia. Anak-anak tikus yang diberi makan transgenik peluang matinya itu enam sampai delapan kali dari yang tidak diberi makanan mengandung transgenik,” tambahnya.
Menurut Kepala Badan Pemeriksa Obat dan Makanan, Husnia, semua produk kedelai impor asal Amerika Serikat merupakan kedelai transgenik. Dengan demikian semua produk turunan kedelai impor, seperti tahu, tempe, kecap, dan tauco juga merupakan bahan makanan transgenik yang berbahaya.
“Tempe gorengan, tempe yang Anda makan di rumah, keripik tempe yang dijual di Purwokerto, Bandung, tahu Sumedang, semua makanan yang mengandung kedelai ya berasal dari kedelai impor. Karena bahan baku untuk tempe, tahu yang ada di Indonesia dari kedelai impor. Kalau bahannya transgenik, produknya transgenik,” katanya kepada VHR.
Indonesia mengimpor produk transgenik seperti kedelai, jagung, dan kentang dari Amerika Serikat, Kanada, Argentina, dan Australia. Produk itu melenggang masuk ke Indonesia secara bebas, tanpa proses penelitian dan uji keamanan, sebagaimana impor beras dan gula.
Menurut Thamrin Latuconsina, Kepala Divisi Barang Modal Direktorat Impor Departemen Perdagangan, impor kedelai, jagung, ataupun kentang hanya dikenai bea masuk dan beberapa pajak.
“Selama ini, yang kita tangani beras dan gula itu biasanya dilakukan verifikasi di negara muat barang oleh surveyor yang ditunjuk oleh Menperindag. Kepada perusahaan yang bersangkutan, sebelum melakukan impor, harus barangnya diperiksa oleh surveyor. Dan surveyor menerbitkan laporan atas kebenaran barang tersebut baik jumlah, kualitas, atau aspek-spek lain di dalamnya. Kalau terhadap kedelai, kentang, itu impornya kita tidak atur. Itu impornya bebas. Mekanismenya bebas,” kata Thamrin.
Sebenarnya sudah ada perjanjian internasional mengenai perdagangan produk pertanian transgenik, yang tertuang dalam Convention of Bio Diversity atau Konvensi mengenai Keragaman Hayati. Namun, karena Amerika Serikat tidak mau menandatangani konvensi tersebut, negara itu tidak bisa diikat dengan konvensi ini.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak peraturan mengenai makanan transgenik. Dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 13 Ayat (1) menyebutkan bahwa pangan rekayasa genetika wajib diperiksa keamanannya sebelum diedarkan. Ini diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pasal 35 Ayat (1) PP tersebut mewajibkan pencantuman keterangan “pangan rekayasa genetika” untuk pangan transgenik.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menandatangi Protokol Cartanegra mengenai keamanan hayati. Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan ini mengamanatkan berdirinya komite keamanan pangan transgenik yang hingga hari ini belum berdiri. Menurut peraturan pemerintah tersebut, ketua komite itu dijabat oleh Menteri Lingkungan Hidup. Namun, ketika ditanya mengapa komite tersebut belum dibentuk, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan hal ini terhambat masalah teknis.
“Karena antara lain pengumpulan nama jadi masalah teknis saja,” kata Rachmat Witoelar.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen berhak atas keamanan, mendapatkan informasi, memilih, dan mendapatkan ganti rugi, namun hal itu belum sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah. Pelabelan produk makanan transgenik juga tidak diwajibkan terhadap produsen. Menurut Ketua Badapan Pengawasan Obat dan Makanan, Husnia, pelabelan produk makanan transgenik dilakukan oleh komite keamanan pangan transgenik yang belum juga terbentuk.
“Didalam PP 28 itu tertera untuk itu ditentukan oleh Komite Pangan Hayati produk rekayasa genetik. Jadi, itu berdasarkan rekomendasi dari komite. Setelah diberikan rekomendasi, kita baru memberikan label. Karena itu, sampai sekarang kita belum melakukan itu,” tambah Husnia.
Sangatlah sulit membedakan antara produk makanan transgenik dan makanan biasa. Apalagi bagi masyarakat awam. Perbedaan itu hanya dapat dilihat melalui uji laboratorium. Tanpa pelabelan, para konsumen tidak bisa membedakan. Tiadanya pelabelan ini membuat masayarakat selalu waswas dalam membeli makanan.
“Saya denger tuh di teve. Saya aja kaget banget! Sekarang mau makan apa-apa jadi bingung!” kata Dodon, seorang warga.
Kekawatiran masyarakat seperti yang diungkapkan Dodon hanya bisa terjawab dengan adanya pelabelan semua produk makanan yang dibuat dari bahan pertanian transgenik dan pembentukan Komite Keselamatan Pangan Transgenik. Semakin lama Pemerintah menundanya, semakin banyak warga yang akan menjadi korban.
“Tahun 2002 lalu beberapa tempe dan tahu kita uji. Kemudian (ditemukan) ada beberapa turunan lain. Itu positif transgenik. Tahun 2005 kita konsens ke produk kemasan dan kita temukan ada tiga sampel yang positif dua turunan kentang dan satu turunan jagung pada produk impor jadi. Ada (merek) Prinsley, Mister Potatoes, dan Honig. Dan itu dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat sama kegagalan di reproduksi,” kata Huzna Zahir dalam sebuah konferensi pers.
YLKI juga memaparkan bahwa pengujian terhadap produk makanan transgenik pernah dilakukan di Jerman. Percobaan itu dilakukan dengan memberikan makanan hasil rekayasa genetik terhadap tikus. Anak-anak tikus yang diberi makanan hasil rekayasa genetik memiliki peluang kematian enam hingga delapan kali lebih besar dibandingkan dengan tikus yang tidak diberi makanan produk rekayasa genetik.
“Kalau kita melihat potensi bahaya, penelitian di luar itu ada beberapa contoh yang biasanya dicobakan ke hewan tikus yang dilakukan beberapa kali ke tikus di Rusia. Anak-anak tikus yang diberi makan transgenik peluang matinya itu enam sampai delapan kali dari yang tidak diberi makanan mengandung transgenik,” tambahnya.
Menurut Kepala Badan Pemeriksa Obat dan Makanan, Husnia, semua produk kedelai impor asal Amerika Serikat merupakan kedelai transgenik. Dengan demikian semua produk turunan kedelai impor, seperti tahu, tempe, kecap, dan tauco juga merupakan bahan makanan transgenik yang berbahaya.
“Tempe gorengan, tempe yang Anda makan di rumah, keripik tempe yang dijual di Purwokerto, Bandung, tahu Sumedang, semua makanan yang mengandung kedelai ya berasal dari kedelai impor. Karena bahan baku untuk tempe, tahu yang ada di Indonesia dari kedelai impor. Kalau bahannya transgenik, produknya transgenik,” katanya kepada VHR.
Indonesia mengimpor produk transgenik seperti kedelai, jagung, dan kentang dari Amerika Serikat, Kanada, Argentina, dan Australia. Produk itu melenggang masuk ke Indonesia secara bebas, tanpa proses penelitian dan uji keamanan, sebagaimana impor beras dan gula.
Menurut Thamrin Latuconsina, Kepala Divisi Barang Modal Direktorat Impor Departemen Perdagangan, impor kedelai, jagung, ataupun kentang hanya dikenai bea masuk dan beberapa pajak.
“Selama ini, yang kita tangani beras dan gula itu biasanya dilakukan verifikasi di negara muat barang oleh surveyor yang ditunjuk oleh Menperindag. Kepada perusahaan yang bersangkutan, sebelum melakukan impor, harus barangnya diperiksa oleh surveyor. Dan surveyor menerbitkan laporan atas kebenaran barang tersebut baik jumlah, kualitas, atau aspek-spek lain di dalamnya. Kalau terhadap kedelai, kentang, itu impornya kita tidak atur. Itu impornya bebas. Mekanismenya bebas,” kata Thamrin.
Sebenarnya sudah ada perjanjian internasional mengenai perdagangan produk pertanian transgenik, yang tertuang dalam Convention of Bio Diversity atau Konvensi mengenai Keragaman Hayati. Namun, karena Amerika Serikat tidak mau menandatangani konvensi tersebut, negara itu tidak bisa diikat dengan konvensi ini.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak peraturan mengenai makanan transgenik. Dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 13 Ayat (1) menyebutkan bahwa pangan rekayasa genetika wajib diperiksa keamanannya sebelum diedarkan. Ini diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pasal 35 Ayat (1) PP tersebut mewajibkan pencantuman keterangan “pangan rekayasa genetika” untuk pangan transgenik.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menandatangi Protokol Cartanegra mengenai keamanan hayati. Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan ini mengamanatkan berdirinya komite keamanan pangan transgenik yang hingga hari ini belum berdiri. Menurut peraturan pemerintah tersebut, ketua komite itu dijabat oleh Menteri Lingkungan Hidup. Namun, ketika ditanya mengapa komite tersebut belum dibentuk, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan hal ini terhambat masalah teknis.
“Karena antara lain pengumpulan nama jadi masalah teknis saja,” kata Rachmat Witoelar.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen berhak atas keamanan, mendapatkan informasi, memilih, dan mendapatkan ganti rugi, namun hal itu belum sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah. Pelabelan produk makanan transgenik juga tidak diwajibkan terhadap produsen. Menurut Ketua Badapan Pengawasan Obat dan Makanan, Husnia, pelabelan produk makanan transgenik dilakukan oleh komite keamanan pangan transgenik yang belum juga terbentuk.
“Didalam PP 28 itu tertera untuk itu ditentukan oleh Komite Pangan Hayati produk rekayasa genetik. Jadi, itu berdasarkan rekomendasi dari komite. Setelah diberikan rekomendasi, kita baru memberikan label. Karena itu, sampai sekarang kita belum melakukan itu,” tambah Husnia.
Sangatlah sulit membedakan antara produk makanan transgenik dan makanan biasa. Apalagi bagi masyarakat awam. Perbedaan itu hanya dapat dilihat melalui uji laboratorium. Tanpa pelabelan, para konsumen tidak bisa membedakan. Tiadanya pelabelan ini membuat masayarakat selalu waswas dalam membeli makanan.
“Saya denger tuh di teve. Saya aja kaget banget! Sekarang mau makan apa-apa jadi bingung!” kata Dodon, seorang warga.
Kekawatiran masyarakat seperti yang diungkapkan Dodon hanya bisa terjawab dengan adanya pelabelan semua produk makanan yang dibuat dari bahan pertanian transgenik dan pembentukan Komite Keselamatan Pangan Transgenik. Semakin lama Pemerintah menundanya, semakin banyak warga yang akan menjadi korban.
No comments:
Post a Comment