Friday, October 24, 2008

Nasib Tarif Murah Setelah Krisis

Nasib Tarif Murah Setelah Krisis

”Tarif murah” di industri telepon seluler benar-benar bak mantra yang sakti. Tarif murah telah mampu menghipnotis jutaan orang untuk menjadi pelanggan ponsel meski persaingan begitu ketat di industri ini.

Semua operator mengucapkan ”mantra” yang sama dalam komunikasi pemasarannya. Semua operator mengklaim bahwa promosi tarif murahnya mendapat respons fantastis dari konsumen. Buntutnya, pertumbuhan industri seluler lebih tiga kali lipat dari rata-rata pertumbuhan ekonomi negeri ini. Jumlah pelanggan ponsel menggelembung puluhan juta dalam waktu singkat.

XL, misalnya, pada semester I tahun ini berhasil mencatatkan jumlah pelanggan sebanyak 22,9 juta. Indosat juga mampu menambah pelanggan menjadi 32,4 juta. Penambahan ini meningkat sekitar 62,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada periode yang sama, jumlah pelanggan Telkomsel naik dari 42,8 juta menjadi 52,4 juta. Jumlah pelanggan Bakrie Telecom mengalami peningkatan hampir 1,5 kali lipat. Pada semester I-2007 pelanggannya 2,2 juta, pada semester I-2008 naik menjadi 5,4 juta pelanggan.

Lonjakan jumlah pelanggan ini tentu menggembirakan pelaku industri telepon seluler. Namun, penambahan jumlah pelanggan juga membawa konsekuensi serius bagi operator, yaitu kapasitas jaringan untuk menjamin konektivitas pelanggannya.

Faktanya, tarif murah yang dikemas dengan tajuk telepon sepuasnya, semaumu, SMS murah, bahkan ada yang gratis ke semua operator mengakibatkan jaringan menjadi penuh (baca: sibuk). Lihat saja halaman surat pembaca di berbagai media cetak dan online. Mereka komplain tentang kualitas layanan operator seluler yang tak pernah berhenti. Yang dikeluhkan, umumnya, mulai dari gagal berkomunikasi, ponselnya tak bisa dipakai meski sinyal penuh, sampai SMS yang tidak terkirim.

Untuk komunikasi data keluhan pelanggan beberapa operator cukup seragam: koneksi internetnya lelet meski dapat sinyal 3G bahkan HSDPA, status modem ”connected”, tetapi tidak bisa browsing. Keluhan seperti itu adalah kata lain dari jaringan penuh.

Seperti di perang tarif, di area pengembangan infrastruktur pun para operator juga ”bersaing” untuk mengimbangi pertumbuhan pelanggannya. XL, misalnya, telah dua kali merevisi anggaran capex (capital expenditure)-nya dari 650 dollar AS ke 1 miliar dollar AS, lalu menjadi 1,25 miliar dollar AS. Bakrie Telecom (Esia) membelanjakan 600 juta dollar AS, Indosat 1, 4 miliar dollar AS, dan Telkomsel menganggarkan Rp 15 triliun.

Pengaruh krisis global

Yang menjadi masalah sekarang ketika operator tengah giat membenahi infrastruktur adalah munculnya badai tsunami keuangan melanda dunia. Meski episentrumnya di Amerika Serikat, Indonesia tetap kecipratan ganasnya ”ombak tsunami” tersebut. Apalagi, sebagian besar perangkat untuk membangun infrastruktur telekomunikasi harus dibeli dengan pinjaman dollar.

Tentunya krisis keuangan kali ini akan mengganggu laju pembangunan jaringan karena mencari pinjaman dollar pada saat ini menjadi tidak mudah. Apalagi, lembaga keuangan tahu persis pendapatan operator Indonesia adalah rupiah. Mereka juga paham bahwa penambahan jumlah pelanggan yang fantastis dari promo tarif murah tidak serta-merta meningkatkan pendapatan operator secara fantastis pula karena yang terpikat tarif murah adalah pasar bawah.

Yang pasti, tahun 2009 operator tak lagi royal belanja modal (capex). Jika itu terjadi, ekspansi jaringan juga terganggu. Yang ada operator harus melakukan intensifikasi jaringan yang ada, juga tentunya memelihara pelanggan yang sudah ada. Kalau tetap mau ngebut mengejar jumlah pelanggan, bumerang sudah menunggu di depannya: harapan pelanggan untuk mendapatkan layanan berkualitas tak bisa dipenuhi.

Saatnya berpikir bijak

Ke depan, kesuksesan bisnis telekomunikasi seluler tak cuma tersirat dari banyaknya jumlah pelanggan karena secara alami kemampuan operator melayani jumlah pelanggan akan sebanding dengan jatah alokasi frekuensi yang dimiliki. Sampai saat ini pelayanan operator besar sudah mulai sesak napas karena banyaknya jumlah pelanggan.

Konsolidasi adalah pilihan yang bisa jadi pas untuk kondisi saat ini dan masa mendatang. Ada beberapa pemikiran bijak dan cerdik untuk melakukannya. Dari yang sederhana sampai rumit, antara lain dengan mencermati tren konvergensi dan booming-nya jejaring sosial.

Lapis menengah atas pengguna ponsel tidak hanya memanfaatkan ponsel untuk bicara dan SMS, tetapi juga untuk melampiaskan kegemarannya, mulai dari bermain game, musik, chatting, browsing, microblogging, sampai berinteraksi ke berbagai jejaring sosial. Tren ini akan lebih cepat diadaptasi pelanggan kelas menengah bawah bila segmen tersebut merasa mendapat manfaat.

Mengikuti arus konvergensi dengan menciptakan aneka ragam konten melalui kerja sama strategis dengan penyedia konten, mewadahi pelanggan dalam ruang komunitas. Kelak pelanggan akan merasa nyaman menjadi pelanggan operator seluler, tidak hanya karena bisa bertelepon dan ber-SMS, tetapi juga mendapat ruang berinteraksi dengan pelanggan lain yang memiliki kesamaan, minat, hobi, atau profesi.

Nantinya, bagi operator, pelanggan tidak hanya dianggap sebagai obyek pengisi pundi keuntungan dari belanja pulsa saja, tetapi juga bisa menjadi aset sekaligus mitra berbagi untuk model pendapatan yang lain, semisal mobile advertising dan mobile marketing. Ketika itu terjadi, operator tidak akan berani lagi bermain-main dengan level servis atau quality of service kepada pelanggannya.

Upaya bijak nan cerdik lainnya adalah lebih serius memerhatikan potensi bisnis data karena pasar data, baik korporasi maupun individual, sudah menggeliat dan akan melesat dalam waktu dekat. Ini tantangan bagi operator bagaimana mempersiapkan strategi untuk menangkap potensi besar pasar broadband sehingga mereka tidak akan kehilangan peluang pertumbuhan yang eksponensial ketika booming itu hadir di depan mata. Kita tunggu saja.
Ventura Elisawati Pengamat Telematika yang Pernah Bekerja di Perusahaan Telekomunikasi Nasional
Sebenarnya pelanggan diuntungkan atau dirugikan sih?

No comments: