Prihatin Tentang Dokter Jaga di RS Sentra Medika Cimanggis
22.28
Bulan sedang menuju tepat ke jantung malam... sayup suara orang berbincang di jalan terdengar riang dalam gelut malam minggu untuk beberapa puluh menit mata terfokus ke arah monitor setelah melirik jam dan peluh mulai mengharuskan badan dibersihkan untuk memulai ritual istirahat baru saja resluiting terperancah dan jaket di kebas untuk digantung ketika diluar sana terdengar kegaduhan, sekitar 15 meter dari pusat syaraf bunyi roda motor berdecit dengan rem, beradu dengan aspal... seketika dalam sepersekian detik otak langsung mengirim sinyal ramalan bahwa yang terjadi selanjutnya adalah seperti biasa, tumbukan besar... entah antara motor dengan aspal, motor dengan tiang listrik, atau... kemungkinan terburuk adalah daging dengan sesuatu...
dan ketika suara tumbukan terakhir dengan efek suara dramatis, berhasil menghentikan untuk sesaat seluruh jalan darah, menyedot semua kesadaran reflek untuk bergerak, akhirnya datang juga imajinasi itu... gambaran terburuk di luar sana...
Tolong jangan sampai sesuatu terburuk yang terjadi, hanya itu pinta dalam batin, sambil bergegas kembali menyambar jaket, dan kotak P3K.
============ ========= ========= =======
Tulisan ini ditulis sebelum tulisan ini, dan akhirnya gue posting untuk everyone, setelah menimbang-nimbang baik dan buruk resiko-nya. Mudah-mudahan resiko negatif lebih kecil daripada resiko positif-nya. Dan mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi tambahan pengetahuan kita, terutama bagaimana menghadapi peristiwa serupa kelak.
Emang paling enak 'tuh 'numpahin uneg-uneg di blog, daripada media massa. Dan uneg-uneg ini 'udah terpendam ratusan tahun eh maksud gue... pokoknya 'udah terpendam sejak lama, jaman gue masih bocah cilik gitu 'lah. Yang gue maksud dengan uneg-uneg disini adalah kekesalan gue terhadap sikap dokter yang tindakan-nya tidak mencerminkan profesi yang dipilih mereka sendiri. Sorry... tulisan ini sama sekali tidak ditujukan untuk mendiskreditkan profesi tertentu, atau untuk tujuan mencemarkan nama baik, atau untuk tujuan cari popularitas *kalo dokter yang gue maksud baca blog gue ini yah*, atau untuk menebar kebencian terhadap profesi tertentu. Enggak.
Tulisan ini semata murni UNEG-UNEG. Kalau ada yang sampai protes terhadap tulisan curhat gue ini, mohon disampaikan melalui jalur pribadi, dan mohon maaf juga nih, gue pasti baca tapi 'gak janji akan gue layani.
============ ========= ========= =======
Setelah dulu waktu kecil pernah mengalami tindakan dari dokter yang menyebabkan surutnya kepercayaan gue terhadap profesi satu ini, beberapa kali situasi yang sama terjadi dan terlewatkan begitu aja dalam hidup gue, termasuk kejadian yang menurut gue termasuk malpraktek yang dilakukan dokter RS ***tuuuttt** ** terhadap rekan gue satu rumah yang mengalami luka bakar hebat sehingga harus segera dilakukan tindakan operasi. Berhubung aja temen gue orang-nya pasrah-an dan mohon2 ke gue untuk 'gak cari gara-gara sama dokter-nya, maka gue 'gak tulis deh kisah-nya di sini.
Dan episode terakhir berhubungan dengan dokter yang bikin gue naik darah ini terjadi malam ini, Sabtu 8 Desember 2007. Ketika terjadi kecelakaan di depan rumah yang mengakibatkan seorang gadis 18 tahun bernama Wulan sempat 'gak sadar beberapa saat setelah kejadian.
Begitu terbiasa dengan suara-suara motor di depan rumah yang jatuh terguling entah karena jalanan licin dan kurang hati-hati pengendara-nya, atau karena bertabrakan dengan motor lain, membuat gue sedikit hapal dengan perkiraan hasil akhir kejadian tersebut, dari suara yang ditimbulkan. Kali ini sungguh dramatis, dan gue 'gak yakin sendiri apakah kotak P3K yang gue sambar dalam kalut menghambur menuju ke jalanan depan rumah akan berguna.
Wulan masih tergeletak di tepi jalan ketika orang-orang mulai mengerumuni. Gue segera minta tolong ke orang-orang yang ada entah itu siapa, untuk segera 'mindahin Wulan ke dalam rumah, paling enggak membaringkan di sofa ruang tamu akan membuat dia sedikit lebih nyaman. Walaupun gue sendiri khawatir karena Wulan 'nggak merespon cubitan di tangan dan tepukan di pipi, akhirnya gue sedikit lega waktu akhirnya beberapa menit kemudian Wulan mulai membuka mata. Waktu ditanya bagaimana rasanya, Wulan diam aja 'gak ada reaksi, hanya bola mata yang berputar dan juga kepala terkulai.
Heran dengan cukup banyak noda darah di lengan baju, akhirnya gue dan rekan mulai memeriksa sekujur tubuh Wulan yang 'gak ada luka sama sekali kecuali lecet bekas kena aspal yang mengeluarkan darah di kaki. Segera gue semprot spray anti infeksi itu luka, dan cukup lega mendengar Wulan merintih "sakiiiiiittttt", waktu luka-nya disemprot. Tapi tetap aja kami heran dari mana noda-noda darah di lengan itu...
Setelah sibuk meneliti dan memastikan 'gak ada masalah dengan patah tulang, akhirnya kami memberanikan diri untuk membalikkan badan Wulan, dan dari situ baru kami menyadari... luka di kepala Wulan cukup besar. Dan genangan darah beku di rambut panjang-nya mendukung perkiraan kami. Gunting rambut dan handuk basah segera melakukan tugasnya, rambut panjang-nya sangat lebat. Namun kejadian selanjutnya sungguh membuat kami takut... Wulan mulai muntah-muntah dengan hebat-nya...
Berbekal seadanya tanpa persiapan memadai kami langsung menuju rumah sakit yang terletak sekitar 400 meter dari rumah. Dan Wulan masih muntah-muntah di dalam mobil. Sampai di UGD RS Permata Bunda yang letaknya di perempatan jalan, perawat jaga yang ditemui menyatakan tidak sanggup menangani, membuat kami harus bergegas menuju RS berikutnya di daerah menuju Depok Timur. RS Hermina yang cukup besar ini sempat menerima Wulan di dalam UGD, dan dokter jaga di dalamnya menyarankan untuk segera dilakukan CT Scan, melihat luka yang besar di kepala dan tonjolan hitam di mata Wulan. Kami oke saja mengangguk menyetujui. Dan ternyata... di RS inipun alat CT Scan tidak ada. *sigh*... Terpaksa Wulan kami pindah lagi dari bed ke dalam mobil untuk mencari rumah sakit yang cukup besar dan mempunyai alat CT Scan.
Sampai di RS Sentra Medika, Cimanggis. Wulan cukup cepat dipindah dari mobil menuju bed. Walaupun perawat jaga yang ada juga kurang dibantu oleh rekan-rekan mereka di rumah sakit, malah akhirnya kami sendiri yang turun tangan. Dokter jaga saat itu langsung memeriksa Wulan dan perawat mulai menginterogasi kami bagaimana kejadian-nya. Sampai disini gue masih merasa tidak ada masalah, sampai ketika dokter jaga yang memeriksa kepala Wulan berkata, "ini luka-nya cukup mengkhawatirkan juga, perlu CT Scan..."
"Iya dokter, mohon segera diambil tindakan aja" , kami langsung mengiyakan. Selanjutnya, dokter bertanya ulang, "Mau langsung di CT Scan, atau di rawat dulu?"
Lho... mulai aneh pertanyaan-nya sih, tapi... ya sudahlah berhubung lagi panik dan khawatir keadaan Wulan, kami langsung menjawab ulang, "langsung CT Scan aja dok". Untuk tambahan informasi, dalam perjalanan menuju rumah sakit yang juga mendebarkan itu, gue menghubungi keluarga dan kerabat Wulan untuk memastikan bahwa tindakan gue tidak menyalahi dan melanggar hak-hak orang lain. Ketika gue tanya, "mas, dokter di rumah sakit menyarankan dilakukan CT Scan, apakah diperbolehkan Wulan di CT Scan, dan bagaimana mengenai biayanya, maaf?" dan mereka bilang silahkan ambil tindakan terbaik & 'gak masalah dengan CT Scan... akhirnya menurut gue ya cukup wajar, ketika gue menyampaikan kehendak keluarga ke pihak rumah sakit. Yang penting gue tidak merasa melanggar hak orang lain, itu aja.
Menit-menit berikutnya, gue mulai mondar-mandir antara UGD - Radiologi, mengisi formulir, dan 'agak mengganggu perawat di ruang Radiologi yang entah sedang apa di balik tirai, sebelum akhirnya gue menerima tagihan biaya CT Scan... Rp. 600.000,-
Gue agak berperang dalam batin ketika menerima tagihan itu, antara menyesal 'nggak well prepared pergi ke rumah sakit *ya begimana lagi namanya juga buru-buru yah... masih bisa bawa mobil menuju rumah sakit dan sampai dengan selamat aja 'udah untung alhamdulillah*, dan membayangkan kalau 'nggak cepet dilakukan CT Scan 'emang seberapa parah sih, keadaan Wulan?
Akhirnya gue berinisiatip langsung tanya ke dokter jaga di UGD, "dokter, pasien apa harus segera di CT Scan sekarang atau 'nunggu keluarga dahulu?" Dokter menjawab, "sebaik-nya segera" ... Gue bilang lagi, "kalau gitu bisa 'ngga dokter, kalau pembayaran dilakukan sebagian dahulu atau setelah dilakukan CT Scan, karena uang sedang dibawa keluarga dalam perjalanan?"... "Wah itu terserah bagian radiologi, coba anda tanya ke sana, kami hanya melaksanakan CT Scan atau tidak, tapi kebijaksanaan administrasi yang menentukan ada di bagian radiologi langsung", kata dokter itu lagi. "Oh, oke dokter, saya ke sana lagi", gue bilang sambil melirik ke Wulan di bed UGD dan agak bingung... kog... belum diapa-apain dokter yah... sementara itu gue lihat di ruangan ada beberapa dokter dan perawat yang sedang santai-santai sms dan 'ngobrol.
Terpacu oleh kenyataan bahwa kalau gue 'nggak cepet ke bagian Radiologi lagi, nanti Wulan kenapa-kenapa, gue mempercepat langkah dan tanya suster di Radiologi: "mbak, mmm... kalau pembayaran-nya nanti setelah keluarga dateng atau sebagian dulu bisa 'nggak? Jadi pasien di CT Scan dulu sekarang..."
"Wah kalau itu terserah bagian UGD mba, saya cuma jalanin mesin CT Scan aja disini...", kata suster bikin jantung gue mak nyossssss... dan langsung menyadari cepat... gila ada apa ini kog gue dilempar-lempar begini. Dengan wajah agak memelas dan mohon supaya suster mengerti akhirnya gue bilang: "mbak, mmm tadi saya baru dari UGD dan dokter di sana minta supaya saya ke sini minta persetujuan mbak, apa mbak bisa konfirmasi telepon ke UGD aja daripada saya bolak-balik lagi?" Dengan muka jelas langsung asem, suster tersebut menelepon bagian UGD, dan kembali menjelaskan ke gue bahwa prosedur tindakan memang begitu, bahwa gue harus bayar dulu, baru CT Scan dilaksanakan. "Walaupun saya bayar sebagian dahulu apa 'gak bisa juga mbak?", tanya gue lagi. "Wah kalau itu masalahnya silahkan mbak tanya ke bagian kasir...",yang mana ketika gue ke sana juga dibilang gue harus minta persetujuan dokter jaga dahulu.
Weks... Buru-buru gue menuju UGD lagi, dan bertanya: *sambil melirik bed Wulan... loh kog belum diapa-apain juga nih Wulan, masih teronggok aja di bed?*: "Dokter, saya benar-benar bingung... sebaiknya Wulan harus cepat di CT Scan atau tidak, saya dan keluarga berharap cepat ada tindakan, tapi terus terang uang yang ada belum cukup. Saat ini keluarga sedang menuju kemari bawa uang. Bagaimana dokter?" "Ya kami hanya menjalankan prosedur di rumah sakit ini saja, ibu...", kata dokter itu lagi. "Saya mengerti dok, tapi saya bingung, CT Scan itu benar-benar dibutuhkan atau tidak untuk Wulan? Kalau persoalan-nya uang, kami mau membayar sebagian dahulu, tapi tetap katanya harus persetujuan dokter. Saya sendiri khawatir tadi dia muntah-muntah begitu hebat", dengan nada agak mulai naik dikiiitttt.. . *gimana 'gak naik suara dikit, dilempar kesana kemari kayak pingpong gitu... tengah malem pulak* Dan dokter itu mulai membentak gue di depan Wulan dan beberapa REKAN SEJAWAT-nya: "Bagaimana mau di CT Scan kalau pendarahannya belum berhenti!!! Ibu mengerti !!!??!!!"
Kesadaran langsung terhempas. Tapi gue masih punya harga diri sedikit: "Kalau pendarahan-nya harus dihentikan sebelum CT Scan, kenapa tidak dari tadi dihentikan, dokter? Mungkin tidak di-CT Scan dahulu tidak masalah, tapi saya lihat Wulan masih belum diambil tindakan apapun dari tadi, sejak saya mondar-mandir ke Radiologi?", dengan suara mulai agak tersendat, kalut dengan emosi dan airmata yang hampir tumpah. "Maksud ibu apa???" --> *kayaknya dia mulai panik termakan omongan sendiri* "Maksud saya, apakah pak dokter terhormat tega, kalau nanti melihat Wulan mati tanpa penanganan di sini?", suara gue makin lirih... "ITU BUKAN URUSAN SAYA!!!!!"
Gelegar kata-kata dokter itu semakin menghempas gue ke pojokan yang betul-betul berupa pojokan ruang UGD. Untuk sesaat gue sulit bernafas. Kenyataan memang pahit, tapi sangat terasa kental-nya pahit ketika elu mencoba menerima kenyataan, bahwa kepercayaan yang selama ini dibangun, untuk percaya bahwa dokter adalah penolong sesama MANUSIA, hancur berkeping-keping. Ruang kepercayaan itu masih ada, tapi lantai-nya malam ini kembali dinodai. Sulit untuk menghapus noda-noda dalam kenangan itu.
Detik-detik selanjutnya adalah episode drama ketika: "Bukan... urusan... dokter...", ucap gue lirih terbata dalam perih yang tersendat pahit menguar... mengulang kata-kata dokter yang terdengar jumawa di telinga. Lalu, bagai tersengat lebah dokter-dokter lain dalam ruangan UGD tersebut mulai berhamburan menghampiri Wulan yang teronggok bagai daging tanpa harga di bed UGD. Bagai kupu-kupu yang mulai menyadari, ada sekuntum bunga elok di balik semak berduri, yang wajib dikerumuni. Bagai para penambang emas yang tiba-tiba menemukan sebongkah emas dalam tambang. Well, daging sapi yang masih berdarah-darah aja di supermarket masih berlabel HARGA, yang jelas menunjukkan BENDA BERHARGA. Dan manusia bernama Wulan ini sama sekali tidak ada harga-nya di mata dokter yang 'udah membentak gue.
[IMAGE]
Sementara gue masih tersendat di pojokan UGD, masih berusaha menghimpun kepercayaan yang terserak atas apa yang telah terjadi. Entah... mungkin para dokter yang tadi asyik nongkrong tidak mempedulikan Wulan, mulai sadar bahwa mereka adalah dokter, yang harus menolong sesama, yang kesulitan dalam fisik yang terluka. Tapi gue 'udah 'nggak peduli kenyataan itu. Kenyataan-nya yang ada sekarang adalah... dokter jaga yang satu itu... yang seperti-nya berwenang disitu... dalam kata-kata yang diucapkan dengan jelas... 'nggak peduli sama nasib Wulan, sebagai sesama MANUSIA.
Dan episode selanjutnya, adalah ketika luka di kepala Wulan yang sudah mencapai tahap pembengkakan hampir sebesar bola tenis, akhirnya dijahit. [IMAGE]
Dan gue hanya bisa pasrah, di pojokan UGD sambil berucap dalam hati... apakah harus melalui ini semua, setiap tindakan dalam ruang UGD dilakukan? Apakah harus ada pembuktian jumawa seorang dokter di balik jubah putih-nya, dengan kata-kata yang dikeluarkan? Apa yang hendak dibuktikan dari semua ucapan dokter itu? Dan berapa banyak sudah pasien yang mungkin mati infeksi karena telat ditangani dokter yang belum mengumbar jumawa-nya, seperti yang telah dilakukan dokter ini di depan kami?
Kematian atau cacat mungkin adalah takdir, tapi 'nggak perlu campur tangan kita untuk mempercepat kematian itu atau memperburuk keadaan. Usaha semaksimal mungkin untuk mencegah yang terburuk, itu yang penting.
Gue bukan hendak sok pahlawan atau sok tahu dengan semua teori kedokteran bahwa ini dan itu, yang jelas dalam pikiran gue sebagai MANUSIA, ketika ada seseorang terlihat terluka di depan elo, entah elo dokter atau bukan, entah manusia itu hampir mati atau hanya merintih, entah manusia itu musuh atau sahabat kita, harus segera diambil tindakan untuk mencegah supaya manusia itu tidak tambah menderita. Itu aja. Gak perlu teori harus CT Scan-lah, rontgen-lah, MRI-lah...
Sedangkan kucing aja disayang-sayang & ditangisi kalau luka dikit... manusia bernama Wulan ini, hanya teronggok di UGD sementara kepala bocor-nya mulai membengkak dan terus mengeluarkan darah dan cairan yang entah apa lagi...
Untuk sesaat memejam mata, gue berharap ini semua cuma mimpi. Perlahan gue keluar ruang UGD dan agak terduduk bersandar di pagar taman. Masih seperti mimpi, gue mulai tersadar ketika bed Wulan mulai didorong oleh suster dan satpam *mungkin untuk memastikan kita 'gak kabur kali... gapapa deh yang penting langsung ada tindakan* melewati gue menuju... Ruang Radiologi. Yes.... thanks God... batin gue sambil mengusap muka.
Begitu keluarga datang, gue langsung menuju tempat parkir dan segera pulang untuk melupakan episode mimpi ini. Menurut kerabat yang gue telepon, Wulan harus dalam pengawasan dokter. Dan sampai sekarang, kondisi-nya belum pulih kesadaran-nya. Gue cuma bisa berdoa yang terbaik untuk Wulan...
dan ketika suara tumbukan terakhir dengan efek suara dramatis, berhasil menghentikan untuk sesaat seluruh jalan darah, menyedot semua kesadaran reflek untuk bergerak, akhirnya datang juga imajinasi itu... gambaran terburuk di luar sana...
Tolong jangan sampai sesuatu terburuk yang terjadi, hanya itu pinta dalam batin, sambil bergegas kembali menyambar jaket, dan kotak P3K.
============ ========= ========= =======
Tulisan ini ditulis sebelum tulisan ini, dan akhirnya gue posting untuk everyone, setelah menimbang-nimbang baik dan buruk resiko-nya. Mudah-mudahan resiko negatif lebih kecil daripada resiko positif-nya. Dan mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi tambahan pengetahuan kita, terutama bagaimana menghadapi peristiwa serupa kelak.
Emang paling enak 'tuh 'numpahin uneg-uneg di blog, daripada media massa. Dan uneg-uneg ini 'udah terpendam ratusan tahun eh maksud gue... pokoknya 'udah terpendam sejak lama, jaman gue masih bocah cilik gitu 'lah. Yang gue maksud dengan uneg-uneg disini adalah kekesalan gue terhadap sikap dokter yang tindakan-nya tidak mencerminkan profesi yang dipilih mereka sendiri. Sorry... tulisan ini sama sekali tidak ditujukan untuk mendiskreditkan profesi tertentu, atau untuk tujuan mencemarkan nama baik, atau untuk tujuan cari popularitas *kalo dokter yang gue maksud baca blog gue ini yah*, atau untuk menebar kebencian terhadap profesi tertentu. Enggak.
Tulisan ini semata murni UNEG-UNEG. Kalau ada yang sampai protes terhadap tulisan curhat gue ini, mohon disampaikan melalui jalur pribadi, dan mohon maaf juga nih, gue pasti baca tapi 'gak janji akan gue layani.
============ ========= ========= =======
Setelah dulu waktu kecil pernah mengalami tindakan dari dokter yang menyebabkan surutnya kepercayaan gue terhadap profesi satu ini, beberapa kali situasi yang sama terjadi dan terlewatkan begitu aja dalam hidup gue, termasuk kejadian yang menurut gue termasuk malpraktek yang dilakukan dokter RS ***tuuuttt** ** terhadap rekan gue satu rumah yang mengalami luka bakar hebat sehingga harus segera dilakukan tindakan operasi. Berhubung aja temen gue orang-nya pasrah-an dan mohon2 ke gue untuk 'gak cari gara-gara sama dokter-nya, maka gue 'gak tulis deh kisah-nya di sini.
Dan episode terakhir berhubungan dengan dokter yang bikin gue naik darah ini terjadi malam ini, Sabtu 8 Desember 2007. Ketika terjadi kecelakaan di depan rumah yang mengakibatkan seorang gadis 18 tahun bernama Wulan sempat 'gak sadar beberapa saat setelah kejadian.
Begitu terbiasa dengan suara-suara motor di depan rumah yang jatuh terguling entah karena jalanan licin dan kurang hati-hati pengendara-nya, atau karena bertabrakan dengan motor lain, membuat gue sedikit hapal dengan perkiraan hasil akhir kejadian tersebut, dari suara yang ditimbulkan. Kali ini sungguh dramatis, dan gue 'gak yakin sendiri apakah kotak P3K yang gue sambar dalam kalut menghambur menuju ke jalanan depan rumah akan berguna.
Wulan masih tergeletak di tepi jalan ketika orang-orang mulai mengerumuni. Gue segera minta tolong ke orang-orang yang ada entah itu siapa, untuk segera 'mindahin Wulan ke dalam rumah, paling enggak membaringkan di sofa ruang tamu akan membuat dia sedikit lebih nyaman. Walaupun gue sendiri khawatir karena Wulan 'nggak merespon cubitan di tangan dan tepukan di pipi, akhirnya gue sedikit lega waktu akhirnya beberapa menit kemudian Wulan mulai membuka mata. Waktu ditanya bagaimana rasanya, Wulan diam aja 'gak ada reaksi, hanya bola mata yang berputar dan juga kepala terkulai.
Heran dengan cukup banyak noda darah di lengan baju, akhirnya gue dan rekan mulai memeriksa sekujur tubuh Wulan yang 'gak ada luka sama sekali kecuali lecet bekas kena aspal yang mengeluarkan darah di kaki. Segera gue semprot spray anti infeksi itu luka, dan cukup lega mendengar Wulan merintih "sakiiiiiittttt", waktu luka-nya disemprot. Tapi tetap aja kami heran dari mana noda-noda darah di lengan itu...
Setelah sibuk meneliti dan memastikan 'gak ada masalah dengan patah tulang, akhirnya kami memberanikan diri untuk membalikkan badan Wulan, dan dari situ baru kami menyadari... luka di kepala Wulan cukup besar. Dan genangan darah beku di rambut panjang-nya mendukung perkiraan kami. Gunting rambut dan handuk basah segera melakukan tugasnya, rambut panjang-nya sangat lebat. Namun kejadian selanjutnya sungguh membuat kami takut... Wulan mulai muntah-muntah dengan hebat-nya...
Berbekal seadanya tanpa persiapan memadai kami langsung menuju rumah sakit yang terletak sekitar 400 meter dari rumah. Dan Wulan masih muntah-muntah di dalam mobil. Sampai di UGD RS Permata Bunda yang letaknya di perempatan jalan, perawat jaga yang ditemui menyatakan tidak sanggup menangani, membuat kami harus bergegas menuju RS berikutnya di daerah menuju Depok Timur. RS Hermina yang cukup besar ini sempat menerima Wulan di dalam UGD, dan dokter jaga di dalamnya menyarankan untuk segera dilakukan CT Scan, melihat luka yang besar di kepala dan tonjolan hitam di mata Wulan. Kami oke saja mengangguk menyetujui. Dan ternyata... di RS inipun alat CT Scan tidak ada. *sigh*... Terpaksa Wulan kami pindah lagi dari bed ke dalam mobil untuk mencari rumah sakit yang cukup besar dan mempunyai alat CT Scan.
Sampai di RS Sentra Medika, Cimanggis. Wulan cukup cepat dipindah dari mobil menuju bed. Walaupun perawat jaga yang ada juga kurang dibantu oleh rekan-rekan mereka di rumah sakit, malah akhirnya kami sendiri yang turun tangan. Dokter jaga saat itu langsung memeriksa Wulan dan perawat mulai menginterogasi kami bagaimana kejadian-nya. Sampai disini gue masih merasa tidak ada masalah, sampai ketika dokter jaga yang memeriksa kepala Wulan berkata, "ini luka-nya cukup mengkhawatirkan juga, perlu CT Scan..."
"Iya dokter, mohon segera diambil tindakan aja" , kami langsung mengiyakan. Selanjutnya, dokter bertanya ulang, "Mau langsung di CT Scan, atau di rawat dulu?"
Lho... mulai aneh pertanyaan-nya sih, tapi... ya sudahlah berhubung lagi panik dan khawatir keadaan Wulan, kami langsung menjawab ulang, "langsung CT Scan aja dok". Untuk tambahan informasi, dalam perjalanan menuju rumah sakit yang juga mendebarkan itu, gue menghubungi keluarga dan kerabat Wulan untuk memastikan bahwa tindakan gue tidak menyalahi dan melanggar hak-hak orang lain. Ketika gue tanya, "mas, dokter di rumah sakit menyarankan dilakukan CT Scan, apakah diperbolehkan Wulan di CT Scan, dan bagaimana mengenai biayanya, maaf?" dan mereka bilang silahkan ambil tindakan terbaik & 'gak masalah dengan CT Scan... akhirnya menurut gue ya cukup wajar, ketika gue menyampaikan kehendak keluarga ke pihak rumah sakit. Yang penting gue tidak merasa melanggar hak orang lain, itu aja.
Menit-menit berikutnya, gue mulai mondar-mandir antara UGD - Radiologi, mengisi formulir, dan 'agak mengganggu perawat di ruang Radiologi yang entah sedang apa di balik tirai, sebelum akhirnya gue menerima tagihan biaya CT Scan... Rp. 600.000,-
Gue agak berperang dalam batin ketika menerima tagihan itu, antara menyesal 'nggak well prepared pergi ke rumah sakit *ya begimana lagi namanya juga buru-buru yah... masih bisa bawa mobil menuju rumah sakit dan sampai dengan selamat aja 'udah untung alhamdulillah*, dan membayangkan kalau 'nggak cepet dilakukan CT Scan 'emang seberapa parah sih, keadaan Wulan?
Akhirnya gue berinisiatip langsung tanya ke dokter jaga di UGD, "dokter, pasien apa harus segera di CT Scan sekarang atau 'nunggu keluarga dahulu?" Dokter menjawab, "sebaik-nya segera" ... Gue bilang lagi, "kalau gitu bisa 'ngga dokter, kalau pembayaran dilakukan sebagian dahulu atau setelah dilakukan CT Scan, karena uang sedang dibawa keluarga dalam perjalanan?"... "Wah itu terserah bagian radiologi, coba anda tanya ke sana, kami hanya melaksanakan CT Scan atau tidak, tapi kebijaksanaan administrasi yang menentukan ada di bagian radiologi langsung", kata dokter itu lagi. "Oh, oke dokter, saya ke sana lagi", gue bilang sambil melirik ke Wulan di bed UGD dan agak bingung... kog... belum diapa-apain dokter yah... sementara itu gue lihat di ruangan ada beberapa dokter dan perawat yang sedang santai-santai sms dan 'ngobrol.
Terpacu oleh kenyataan bahwa kalau gue 'nggak cepet ke bagian Radiologi lagi, nanti Wulan kenapa-kenapa, gue mempercepat langkah dan tanya suster di Radiologi: "mbak, mmm... kalau pembayaran-nya nanti setelah keluarga dateng atau sebagian dulu bisa 'nggak? Jadi pasien di CT Scan dulu sekarang..."
"Wah kalau itu terserah bagian UGD mba, saya cuma jalanin mesin CT Scan aja disini...", kata suster bikin jantung gue mak nyossssss... dan langsung menyadari cepat... gila ada apa ini kog gue dilempar-lempar begini. Dengan wajah agak memelas dan mohon supaya suster mengerti akhirnya gue bilang: "mbak, mmm tadi saya baru dari UGD dan dokter di sana minta supaya saya ke sini minta persetujuan mbak, apa mbak bisa konfirmasi telepon ke UGD aja daripada saya bolak-balik lagi?" Dengan muka jelas langsung asem, suster tersebut menelepon bagian UGD, dan kembali menjelaskan ke gue bahwa prosedur tindakan memang begitu, bahwa gue harus bayar dulu, baru CT Scan dilaksanakan. "Walaupun saya bayar sebagian dahulu apa 'gak bisa juga mbak?", tanya gue lagi. "Wah kalau itu masalahnya silahkan mbak tanya ke bagian kasir...",yang mana ketika gue ke sana juga dibilang gue harus minta persetujuan dokter jaga dahulu.
Weks... Buru-buru gue menuju UGD lagi, dan bertanya: *sambil melirik bed Wulan... loh kog belum diapa-apain juga nih Wulan, masih teronggok aja di bed?*: "Dokter, saya benar-benar bingung... sebaiknya Wulan harus cepat di CT Scan atau tidak, saya dan keluarga berharap cepat ada tindakan, tapi terus terang uang yang ada belum cukup. Saat ini keluarga sedang menuju kemari bawa uang. Bagaimana dokter?" "Ya kami hanya menjalankan prosedur di rumah sakit ini saja, ibu...", kata dokter itu lagi. "Saya mengerti dok, tapi saya bingung, CT Scan itu benar-benar dibutuhkan atau tidak untuk Wulan? Kalau persoalan-nya uang, kami mau membayar sebagian dahulu, tapi tetap katanya harus persetujuan dokter. Saya sendiri khawatir tadi dia muntah-muntah begitu hebat", dengan nada agak mulai naik dikiiitttt.. . *gimana 'gak naik suara dikit, dilempar kesana kemari kayak pingpong gitu... tengah malem pulak* Dan dokter itu mulai membentak gue di depan Wulan dan beberapa REKAN SEJAWAT-nya: "Bagaimana mau di CT Scan kalau pendarahannya belum berhenti!!! Ibu mengerti !!!??!!!"
Kesadaran langsung terhempas. Tapi gue masih punya harga diri sedikit: "Kalau pendarahan-nya harus dihentikan sebelum CT Scan, kenapa tidak dari tadi dihentikan, dokter? Mungkin tidak di-CT Scan dahulu tidak masalah, tapi saya lihat Wulan masih belum diambil tindakan apapun dari tadi, sejak saya mondar-mandir ke Radiologi?", dengan suara mulai agak tersendat, kalut dengan emosi dan airmata yang hampir tumpah. "Maksud ibu apa???" --> *kayaknya dia mulai panik termakan omongan sendiri* "Maksud saya, apakah pak dokter terhormat tega, kalau nanti melihat Wulan mati tanpa penanganan di sini?", suara gue makin lirih... "ITU BUKAN URUSAN SAYA!!!!!"
Gelegar kata-kata dokter itu semakin menghempas gue ke pojokan yang betul-betul berupa pojokan ruang UGD. Untuk sesaat gue sulit bernafas. Kenyataan memang pahit, tapi sangat terasa kental-nya pahit ketika elu mencoba menerima kenyataan, bahwa kepercayaan yang selama ini dibangun, untuk percaya bahwa dokter adalah penolong sesama MANUSIA, hancur berkeping-keping. Ruang kepercayaan itu masih ada, tapi lantai-nya malam ini kembali dinodai. Sulit untuk menghapus noda-noda dalam kenangan itu.
Detik-detik selanjutnya adalah episode drama ketika: "Bukan... urusan... dokter...", ucap gue lirih terbata dalam perih yang tersendat pahit menguar... mengulang kata-kata dokter yang terdengar jumawa di telinga. Lalu, bagai tersengat lebah dokter-dokter lain dalam ruangan UGD tersebut mulai berhamburan menghampiri Wulan yang teronggok bagai daging tanpa harga di bed UGD. Bagai kupu-kupu yang mulai menyadari, ada sekuntum bunga elok di balik semak berduri, yang wajib dikerumuni. Bagai para penambang emas yang tiba-tiba menemukan sebongkah emas dalam tambang. Well, daging sapi yang masih berdarah-darah aja di supermarket masih berlabel HARGA, yang jelas menunjukkan BENDA BERHARGA. Dan manusia bernama Wulan ini sama sekali tidak ada harga-nya di mata dokter yang 'udah membentak gue.
[IMAGE]
Sementara gue masih tersendat di pojokan UGD, masih berusaha menghimpun kepercayaan yang terserak atas apa yang telah terjadi. Entah... mungkin para dokter yang tadi asyik nongkrong tidak mempedulikan Wulan, mulai sadar bahwa mereka adalah dokter, yang harus menolong sesama, yang kesulitan dalam fisik yang terluka. Tapi gue 'udah 'nggak peduli kenyataan itu. Kenyataan-nya yang ada sekarang adalah... dokter jaga yang satu itu... yang seperti-nya berwenang disitu... dalam kata-kata yang diucapkan dengan jelas... 'nggak peduli sama nasib Wulan, sebagai sesama MANUSIA.
Dan episode selanjutnya, adalah ketika luka di kepala Wulan yang sudah mencapai tahap pembengkakan hampir sebesar bola tenis, akhirnya dijahit. [IMAGE]
Dan gue hanya bisa pasrah, di pojokan UGD sambil berucap dalam hati... apakah harus melalui ini semua, setiap tindakan dalam ruang UGD dilakukan? Apakah harus ada pembuktian jumawa seorang dokter di balik jubah putih-nya, dengan kata-kata yang dikeluarkan? Apa yang hendak dibuktikan dari semua ucapan dokter itu? Dan berapa banyak sudah pasien yang mungkin mati infeksi karena telat ditangani dokter yang belum mengumbar jumawa-nya, seperti yang telah dilakukan dokter ini di depan kami?
Kematian atau cacat mungkin adalah takdir, tapi 'nggak perlu campur tangan kita untuk mempercepat kematian itu atau memperburuk keadaan. Usaha semaksimal mungkin untuk mencegah yang terburuk, itu yang penting.
Gue bukan hendak sok pahlawan atau sok tahu dengan semua teori kedokteran bahwa ini dan itu, yang jelas dalam pikiran gue sebagai MANUSIA, ketika ada seseorang terlihat terluka di depan elo, entah elo dokter atau bukan, entah manusia itu hampir mati atau hanya merintih, entah manusia itu musuh atau sahabat kita, harus segera diambil tindakan untuk mencegah supaya manusia itu tidak tambah menderita. Itu aja. Gak perlu teori harus CT Scan-lah, rontgen-lah, MRI-lah...
Sedangkan kucing aja disayang-sayang & ditangisi kalau luka dikit... manusia bernama Wulan ini, hanya teronggok di UGD sementara kepala bocor-nya mulai membengkak dan terus mengeluarkan darah dan cairan yang entah apa lagi...
Untuk sesaat memejam mata, gue berharap ini semua cuma mimpi. Perlahan gue keluar ruang UGD dan agak terduduk bersandar di pagar taman. Masih seperti mimpi, gue mulai tersadar ketika bed Wulan mulai didorong oleh suster dan satpam *mungkin untuk memastikan kita 'gak kabur kali... gapapa deh yang penting langsung ada tindakan* melewati gue menuju... Ruang Radiologi. Yes.... thanks God... batin gue sambil mengusap muka.
Begitu keluarga datang, gue langsung menuju tempat parkir dan segera pulang untuk melupakan episode mimpi ini. Menurut kerabat yang gue telepon, Wulan harus dalam pengawasan dokter. Dan sampai sekarang, kondisi-nya belum pulih kesadaran-nya. Gue cuma bisa berdoa yang terbaik untuk Wulan...
1 comment:
prihatin thdp sikap dokter itu, smg beliau cepat sadar ats kekeliruannya,salut pd kamu , pahlawan sejati!
Post a Comment