Tuesday, September 18, 2007

Akses Pita Lebar Tanggung Jawab Siapa?

Akses Pita Lebar Tanggung Jawab Siapa?

Menjelang peluncuran pelelangan pita frekuensi akses pita lebar (broadband access), menjadi pertanyaan, kira-kira model bisnisnya seperti apa? Yang pasti, frekuensi akses pita lebar akan digunakan sebagai bagian dalam program Universal Service Obligation.

Kebijakan ini perlu disikapi secara kritis. Jepang menggunakan frekuensi akses pita lebar untuk rural karena tuntutan aplikasi dengan pita lebar sudah ada di daerah rural. Ini disebabkan kegiatan ekonomi nasional sudah berbasis teknologi informasi. Untuk menggelar jaringan fibre to the home di daerah rural sifatnya menjadi high cost, dan pilihan terbaik adalah menggunakan WiMax.

Kondisi daerah rural di Indonesia sangat berbeda. Daerah rural masih membutuhkan layanan basic telephony. Hal ini kembali membuka perdebatan tentang prinsip economic viable dari satu layanan teknologi baru apabila hanya replikasi layanan existing yang sudah lebih dahulu disediakan, seperti penggunaan akses pita lebar untuk Universal Service Obligation.

Pelajaran dari penggelaran jaringan 3G dapat dijadikan pengalaman. Sebelum lelang frekuensi 3G, belum ada konsep model bisnis penyediaan layanan 3G, baik dari sisi operator maupun regulator. Yang ada adalah pernyataan bahwa teknologi 3G akan mampu mengantar data dengan kecepatan tinggi dan layanan panggilan video (video call). Akhirnya posisi layanan 3G hanya replikasi panggilan suara (voice call) layanan 2G.

Model bisnis akses pita lebar apa yang tepat untuk Indonesia saat ini? Agak gamang menjawab pertanyaan ini mengingat layanan pita lebar yang ada saat ini pun seperti layanan 3G masih belum mature, baik dari sisi aplikasi maupun jumlah pengguna.

Untuk menunggu layanan 3G sampai pada kondisi tersebut juga tidak baik karena proyeksi pengguna internet sampai akhir tahun ini sebesar 31,5 juta sudah cukup untuk mendorong kehadiran pita lebar di Indonesia. Yang pasti, konsep model bisnis tidak harus ada pada saat tersedianya demand, justru model bisnis dirumuskan untuk menciptakan demand terhadap layanan akses pita lebar nirkabel.

Inisiatif pemerintah
Penekanan yang utama dengan kondisi Indonesia pada saat ini adalah bagaimana akses pita lebar dapat dijangkau pengguna dengan tarif yang affordable dan memberi kemudahan maupun efisiensi kegiatan ekonomi. Penekanan terhadap kedua hal itu dapat didukung oleh regulasi yang memberikan insentif dan operator yang menggunakan prinsip long run market retain.

Insentif regulasi tidak selalu harus berupa diskon frequency fee, tetapi adanya jaminan terhadap level of playing field maupun jaminan terhadap keterbukaan akses atau dari perspektif operator merupakan jaminan terhadap kelangsungan bisnis.

Pendekatan apa yang harus dilakukan dalam membangun model bisnis penyediaan layanan akses pita lebar nirkabel? Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, di antaranya sebagai inisiatif pemerintah.

Pengembangan model bisnis penyediaan akses pita lebar atas inisiatif dan dikerjakan pemerintah, meskipun dibantu oleh konsultan yang baik, hasilnya diragukan akan aplikatif. Karena, dalam membangun model bisnis, regulator membutuhkan kejujuran terhadap pasar. Kejujuran terhadap pasar sering diabaikan, yang dipakai adalah asumsi ideal yang mungkin masih jauh dari kenyataan di pasar.

Pendekatan kedua adalah dengan membangun satuan tugas yang dikoordinasikan pemerintah. Tim yang terdiri dari pemerintah, regulator, operator, vendor, pengguna, serta akademisi akan menentukan model bisnis secara bersama dengan tetap memberlakukan requirement masing-masing.

Pendekatan yang diambil perlu segera diputuskan sebagai bagian memperoleh suatu preliminary model bagi Indonesia. Preliminary model itu dapat dijadikan sebagai model yang didiskusikan bersama dengan industri. Untuk menguji model bisnis tersebut dapat dibangun proyek percontohan atau proyek percobaan bersama dengan vendor dan operator.

Pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan prinsip driven by market pada kasus penyediaan layanan akses pita lebar nirkabel. Apabila prinsip itu diterapkan dengan kondisi pasar pita lebar yang sudah ada, dampaknya adalah frekuensi yang dialokasikan hanya digunakan untuk memberikan company value atau bahkan hanya sebagai alternatif lain dalam complementary services atau menggantikan jalur transmisi pada titik tertentu yang skala ekonominya belum layak membangun jalur transmisi serat optik. Ini berlaku sampai pasar akses pita lebar dinilai layak secara pasar.

Aktivitas ekonomi
Masalah pokok yang menjadi tantangan semua pihak dalam membangun model bisnis penyediaan akses pita lebar adalah bagaimana mencari killer application di atas akses pita lebar saat ini dan ke depan. Aplikasi ini dapat didasarkan pada aktivitas ekonomi saat ini atau sebagai suatu tren yang mengantar perubahan pada pola kegiatan ekonomi masyarakat.

Untuk memperoleh aplikasi yang tepat bagi akses pita lebar tidak cukup dibicarakan oleh pemerintah dan operator, tetapi harus melibatkan pelaku usaha yang mengerti kebutuhannya. Pemerintah harus melakukan semacam surveilance tentang aplikasi usaha yang bersifat mass activity yang dapat difasilitasi oleh akses pita lebar sekarang dan di masa mendatang.

Setelah memperoleh aplikasi usaha tersebut baru ditentukan pola penyediaan dan jenis operatornya serta alokasi frekuensi yang dibutuhkan agar coverage dari aplikasi efektif.

Melihat kondisi tersebut, layak disadari bahwa pendekatan dengan model bisnis sebagai dasar dalam menempuh kebijakan penyelenggaraan akses pita lebar pada kondisi pasar seperti Indonesia menjadi perhatian utama. Bagaimana dengan timing-nya?

Yang pasti bukan nanti atau kemarin, tetapi sekarang. Pada saat pemerintah sedang mengkaji aspek teknis seperti penomoran dan interkoneksi, juga dilakukan secara bersama dengan industri merumuskan model bisnis penyediaan layanan akses pita lebar atau jangan-jangan nantinya pembahasan aspek teknis itu sia-sia akibat tidak sesuai dengan platform bisnis yang ada.

Gunawan Hutagalung Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Telekomunikasi Universitas Indonesia

No comments: